Perilaku Warisan Nenek Moyang Pada Insan Modern
Semaju apapun budaya dan teknologi yang telah kita capai ketika ini, naluri-naluri nenek moyang tetap bertahan.
Evolusi struktur masyarakat dan posisi individu di dalamnya diambil dari Ronfeldt (1996). |
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, perkembangan sistem informasi yang sangat luas, ditambah dengan membanjirnya informasi mengenai barang komersial dengan harga terjangkau, telah memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan sangat banyak orang semasa hidup kita. Akan tetapi interaksi-interaksi tersebut umumnya hanya sepintas lalu. Walaupun pedoman rasional dan terdidik kita bisa mengikuti keadaan dengan banyak sekali lingkungan, akan tetapi insting dasar kita ternyata berevolusi dengan jauh lebih lambat. Secara biologis, tidak ada perbedaan antara otak insan yang mendarat di bulan dengan otak insan pemburu mammoths pada zaman es. Dan naluri, emosi, dan sikap-sikap ini (yang bagi nenek moyang kita penting untuk bertahan hidup dan berkembang biak ketika mereka hidup di padang rumput Afrika) masih sangat mempengaruhi cara kita mengambil keputusan dan bertindak.
Bagi insan purba, diterima dalam sebuah suku sangat penting demi keberlangsungan hidup. Hal ini dikarenakan interaksi dengan orang abnormal amat jarang terjadi. Oleh karenanya, setiap interaksi sosial mempunyai konsekuensi yang penting bagi tugas seseorang dalam suatu suku, struktur kesukuan ini menghasilkan suatu hirarki sosial yang amat kaku. Penghormatan bagi hirarki semacam itu, yang sanggup dicerminkan dengan kepatuhan terhadap tokoh penguasa / pemimpin, didemonstrasikan dalam suatu percobaan yang disebut Stanley Milgram' experiment. Ketika penerima diminta untuk menyetrum seseorang, maka 65% akan mematuhinya. Padahal, mereka telah diberi tahu dan memahami bahwa tegangan listrik yang diberikan (hingga 450 volt) akan terasa amat menyakitkan (Milgram, 1963). Para peneliti juga telah memperlihatkan bahwa dalam suatu pemilihan kita cenderung menentukan kandidat yang berbadan lebih tinggi dan lebih tampan. Hal ini dianggap merefleksikan dominasi laki-laki yang secara fisik sehat dan besar lengan berkuasa dalam sebuah suku (Murray & Schmitz , 2011; White et.al., 2013). Bahkan ada riset yang memperlihatkan bahwa belum dewasa bisa memprediksi pemenang pemilu hanya dengan melihat foto-foto para kandidat (Antonakis & Dalgas, 2009). Pemikiran-pemikiran ini semestinya sudah ditinggalkan, alasannya dalam dunia modern kesuksesan tidak lagi ditentukan dengan performa fisik.
Hirarki kesukuan juga mungkin mempengaruhi perasaan murka yang berlebihan atas perselisihan-perselisihan yang nampak sepele. Dalam sebuah suku, para individu (khususnya pria) perlu bertindak tegas untuk memperoleh jalan masuk terhadap masakan dan wanita. Kala ini, ketika seseorang berhadapan dengan orang yang nampak memaksakan kehendaknya, naluri bergairah kita akan muncul sampai salah satu sanggup dipinggirkan.
Suasana kesukuan juga menanamkan sikap untuk membedakan-bedakan berdasarkan perbedaan imaginatif antara satu kelompok dengan kelompok lain, contohnya patriotisme dan xenophobia. Berbagai percobaan telah memperlihatkan bahwa orang yang abnormal satu sama lain, jikalau dikelompok-kelompokkan, akan cenderung membentuk sikap diskriminatif (Tajfel, 1970). Para ilmuwan beropini bahwa prasangka merupakan suatu naluri yang ditumbuhkan untuk melindungi suku dari orang luar yang sanggup merugikan kelompok, dengan membuatkan penyakit, mencuri masakan atau melaksanakan kekerasan (Cottrell & Neuberg, 2005). Contoh faktual ketika ini misalnya, alasannya munculnya ketakutan akan membanjirnya imigran warga Kerajaan Inggris lebih menentukan untuk meninggalkan Uni Eropa. Sentimen ini juga berperan penting dalam kemenangan Donald Trump sebagai presiden Amerika. Ini merupakan bukti-bukti bahwa naluri nenek moyang masih berperan besar dalam cara kita mengambil keputusan di zaman modern ini. Bisa saja sikap ini juga turut mempengaruhi dinamika politik di Indonesia dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden 2019 nanti.
Bagi mereka yang berada dalam tingkatan sosial yang lebih rendah, menyesuaikan diri dengan dengan pandangan kelompok yang sudah usang ada (turun temurun) sering merupakan taktik paling aman. Ketakutan akan dipermalukan, ditentang atau ditolak merupakan tendensi insan lainnya yang berakar pada kebutuhan untuk diterima dalam sebuah suku. Sebuah eksperimen sosial klasik memperlihatkan bahwa 35 persen mahasiswa menentukan jawaban yang jelas-jelas salah ketika menebak panjang sebuah garis lurus. Jawaban ini diberikan alasannya mereka menuruti jawaban penerima eksperimen lain, yang bekerjsama merupakan anggota tim peneliti dan sengaja memperlihatkan jawaban yang salah (Asch, 1951). Naluri untuk ingin diterima secara sosial sanggup menjelaskan mengapa banyak orang yang takut untuk berbicara di depan umum. Walaupun pada kenyataannya belum tentu kita akan bertemu lagi dengan orang yang mendengar pembicaraan kita, kita masih takut akan penolakan atau dipermalukan. Perilaku warisan nenek moyang kita ini telah dimanfaatkan oleh banyak sekali perusahaan untuk memasarkan produknya. Mereka memanfaatkan selebriti sebagai endorser semoga produknya lebih laku. Selebriti, merupakan sosok-sosok yang paling bisa diterima oleh masyarakat. Karena konsumen ingin juga diterima sebagaimana halnya sang selebriti, maka mereka akan tertarik untuk membeli produk yang digunakan selebriti tersebut.
Di antara seluruh sikap warisan tadi, sikap picik mungkin merupakan warisan yang paling nyata. Kita menanggapi ancaman yang faktual dan akan terjadi dalam waktu akrab dengan cepat, tetapi selalu meremehkan ancaman laten yang belum faktual dan belum terjadi. Misalnya, jauh lebih banyak orang yang mati jawaban penyakit diabetes dibandingkan dengan tindak terorisme, jauh lebih banyak orang yang mati alasannya kangker dibandingkan alasannya dipatuk ular. Mengapa? alasannya tindakan terorisme dan gigitan ular sanggup membunuh anda besok, sehingga anda akan amat berhati-hati. Kepicikan jugalah yang menciptakan orang amat sulit merespon pemanasan global, alasannya informasi ini dampaknya sulit diukur dan membutuhkan waktu yang usang untuk terjadi.
Perilaku-perilaku nenek moyang ini merupakan bab dari diri kita. Mempelajari kondisi lingkungan dan sosial masa lalu, sanggup membantu kita untuk memahami jiwa masyarakat modern. Mempelajari perilaku-perilaku ini juga membantu kita untuk mengatasi dampak kekunoannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Daftar Pustaka
- Ronfeldt, D. (1996). Tribes, institutions, markets, networks: A framework about societal evolution.
- Tajfel, H. (1970). Experiments in intergroup discrimination. Scientific American, 223(5), 96-102.
- White, A. E., Kenrick, D. T. & Neuberg, S. L. 2013. ‘Beauty at the Ballot Box: Disease Threats Predict Preferences for Physically Attractive Leaders’, Psychological Science, 24, 2429–36.
0 Response to "Perilaku Warisan Nenek Moyang Pada Insan Modern"
Post a Comment