-->

Sejarah Hidup dan Pemikiran Tan Malaka


Sejarah Hidup dan Pemikiran Tan Malaka dalam Buku
Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan
Seri buku       : Tempo
Tahun            : 2010
Penerbit        : PT Gramedia
Kota terbit    : Jakarta
Tebal            : xix + 185

Ia Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya, “Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya, “seseorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara Republik yang didirikannya (p. 2).  Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohamad hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933) (p. 3). 

Sejarah


Dalam upaya kemerdekaan Indonesia, Tan lebih dikenal bergerak di bidang politik dan juga mengorganisir para buruh untuk melaksanakan aksi. Namun, Tan Malaka juga pernah mengkritik mengenai penyelenggaraan pendidikan bagi kaum pribumi. Tan Malaka mengusulkan adanya sekolah rakyat yang diperuntukan bagi rakyat pribumi, sekolah dengan alur pendidikan berbasis kerakyatan. Tan Malaka menegaskan, sekolahnya bukan mencentak juru tulis menyerupai tujuan sekolah pemerintah. Selain untuk mencari nafkah diri dan keluarga, sekolah ini juga membantu rakyat dalam pergerakannya (p. 69). Sayang, Tan Malaka tidak menyaksikan kemajuan sekolah rakyat yang dibangunnya. Pada 2 Maret 1922, pemerintah kolonial Belanda menangkapnya di Bandung setelah terjadi pemogokan buruh pelabuhan dan minyak. Para buruh tersebut tergabung dalam Vaksentral-Revolusioner, tempat Tan menjadi wakil ketua. Pencipta “sang peniup suling ini pun dibuang ke Nederland (p. 71).

Pada awal karir politiknya, Tan Malaka bergabung dengan Sarekat Islam. Namun, pada perjalannnya terjadi silang pendapat antara pemahaman Sarekat Islam dan PKI yang merupakan pecahan dari Sarekat Islam. Semarang, 25 Desember 1921. Malam semakin larut, namun suhu dalam Kongres II Partai Komunis Indonesia malah memanas. Selain udara pengap oleh 1500 orang peserta, hawa dalam ruangan juga tambah panas akhir pidato Abdul Muis, anggota Central Sarekat Islam. Dia mengungkit silat kata antara Partai Komunis dan beberapa tokoh Sarekat perihal Pan-Islam, beberapa bulan sebelumnya. Muis juga mengungkat lagi kritik Komunis Internasional terhadap gerakan Pan-Islam yang didukung sebagian anggota Sarekat (p. 56). Di mata Tan, silang pendapat kedua partai hanyalah episode dari politik pecah belah imperalis.

“Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita menunjukkan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia”, katanya. Pendapat Tan ini didukung Kiai Haji Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah di Sarekat Islam. Menurut Hadi Kusumo, mereka yang memecah belah persatuan rakyat berarti bukan muslim sejati (p. 57). Sayang, usaha Tan gagal. Perpecahan tidak dapat dicegah. Kelompok Islam di Sarekat memaksa “orang-orang kiri” keluar dari partai. Kelompok pecahan ini kemudian menjadi Sarekat Islam Merah, yang terafiliasi dengan Partai Komunis (p. 60). Namun, dalam perjalananya, partai komunis terpecah menjadi dua kekuatan sebab hasil rapat Prambanan yang mengusulkan dilaksanakannya pemberontakan buruh secara besar-besaran. Namun, Tan Malaka termasuk pimpinan PKI yang tidak menyetujui pemberontakan tersebut. Sejak itu, Tan Malaka berpisah dengan Partai Komunis (p. 64).

Setelah aksi kedua, 19 Desember 1948, dan soekarno-Hatta ditawan Belanda, Tan Malaka mengalihkan acara politiknya ke tempat Blimbing, Kediri. Dengan jaminan seorang komandan batalion berjulukan Mayor Sabarudin, ia mendirikan Rakyat Murba Terpendam sebagai markas untuk berbagi pamflet dan berpidato memproklamasikan diri sebagai pemimpin revolusi Indonesia sebab Sukarno-Hatta sebagai tawanan tidak lagi memegang kekuasaan (p. 130). Dari markas itu pula, ia mengkritik tentara divisi Jawa Timur pimpinan kolonel Soengkono yang dinilai pengecut dan tak peduli terhadap kepentingan rakyat. Soengkono mendapatkan laporan dari Soerahmad, Komandan Batalion Sikatan yang bertugas di Kediri, bahwa Tan telah melaksanakan agitasi. Soengkono pun menugasi Soerahmad menyelesaikan persoalannya. Soerahmad kemudia mengeluarkan perintah kepada anak buahnya”untuk memperhatikan gerakan yang dipimpin Tan Malaka yang telah membahayakan perjuangan Republik Indonesia” (p. 131). 

Tidak berselang lama dari perintah tersebut, tersiar kabar bahwa Tan Malaka telah tertembak. Tragedi janjkematian Tan itu membuat Hatta kemudian memberhentikan Soengkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Soerahmad sebagai Komandan Brigade. Soekarno tak mau kalah. Ia mengangkat Tan Malaka sebagai pendekar nasional pada 28 Maret 1963 (p. 132). Poeze yakin Tan Malaka dikuburkan di pemakaman umum Dusun Selopanggung itu. Hanya, posisi tepatnya perlu diteliti lagi, sebab di kompleks makam terdapat sejumlah makam lain (p. 134).

Tan Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu dilewatkannya di luar negeri: enam tahun berguru di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton Hongkong, Manila, Shanghai, Amoy dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum beliau menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang dan kembali ke Indonesia. Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang paling lama di Tiongkok. Selama masa itu, beliau menggunakan 13 alamat diam-diam dan sekurangnnya 7 nama samaran (p. 140).

Salah satu karya Tan Malaka yang boleh dianggap sebagai opus magnumnya yaitu buku Madilog, yang ditulis selama delapan bulan dengan rata-rata tiga jam penulisan setiap hari di persembunyiannya erat Cililitan (p. 144). Inilah warisan perantauannya yang berasal dari aliran Barat untuk mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan kultus takhayul yang menurut beliau diidap rakyat Indonesia (p. 164). Madilog yaitu penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan wangsit yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Dengan demikian, hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap gagasan Madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya: beliau seorang Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Kita ingat kata-katanya kepada pemerintah Belanda sebelum dibuang: Storm ahead! (ada tornado menanti di depan). Don’t lose your head! Ini sebuah language game yang punya arti ganda: jangan kehilangan logika dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, beliau yang tak pernaah kehabisan logika di aneka macam negara tempatnya melarikan diri karenanya kehilangan kepala di tanah air yang amat dicintainya (p. 145).    


Dalam hidupnya, Tan Malaka pernah bersebrangan dengan kebijakan Komunis Internasional (Komintern). Sejak 1920-an Moskow tampak lebih peduli memanfaatkan Komintern bagi kepentingan “hegemoni” internasional Uni Soviet ketimbang perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. Komintern bahkan juga cenderung mencurigai Pan-Islamisme sebagai pessaing internasionalnya, sesuatu yang tidak mampu diterima oleh Tan Malaka. Maka, terperinci kelihatan bahwa warna nasionalisme dalam diri Tan Malaka jauh lebih kental daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Kedekatannya dengan kelompok Islam sebagian sebab rujukan asuhan masa kecilnya sebagai orang Minang; sebagian lain sebab memang kelompok Islamlah yang lebih diandalkannya sebagai mitra pergerakan ketimbang kelompok nasionalis sekuler yang menurutnya cenderung berperilaku borjuis (p. 150).

Sebagai seorang yang sangat nasionalis, Tan telah memimpikan kemerdekaan bangsanya. Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah: bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip Indonesia merdeka (p. 154). Tan Malaka tegas bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka yaitu sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislative dan dewan legislatif hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menjadikan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) yaitu pihak yang pribadi berhadapan dengan duduk perkara yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan peran dikala aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat duduk perkara dari jauh (parlemen) (p. 155).    

Ulasan yang ada pada setiap lembaran buku ini, memang cukup menunjukkan sisi lain dari seorang Tan Malaka yang jarang diungkap. Buku ini mengacu pada goresan pena Poeze, seorang Belanda yang melaksanakan penelitian mendalam terhadap rekam jejak Tan Malaka. Selain itu, paparan yang cukup terperinci juga dapat tercipta sebab adanya peran beberapa peneliti yang juga menuliskan artikel mengenai Tan dari aneka macam sudut pandang di lembaran tamat buku ini. Melalui buku yang  tidak terlalu tebal ini, pembaca akan dibukakan pengetahuannya mengenai Tan Malaka, sehingga dapat lebih bijak dalam menanggapi pemberitaan mengenai Tan Malaka. 
 





    


Sumber http://www.eurekapendidikan.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Sejarah Hidup dan Pemikiran Tan Malaka"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel