Ujian Nasional dalam Pendidikan Nasional
Ujian Nasional dalam Pendidikan Nasional
Prolog
Pada beberapa waktu lalu, pemerintah mengumumkan rencana diberlakukannya bentuk soal uraian pada penyelenggaraan ujian nasional tahun pelajaran 2017/2018. Hal ini tentu saja menerima respon yang beraneka ragam dari masyarakat. Kebijakan pemerintah mengenai ujian nasional, memang selalu mendapat respon dari masyarakat baik pro dan kontra. Walaupun secara mendasar, ujian nasional bergotong-royong ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Umumnya, kelompok yang kontra terhadap ujian nasional, mendasarkan ketidaksetujuannya pada fakta empiris yang terjadi selama ujian nasional diberlakukan. Sehingga masyarakat yang kontra terhadap kebijakan ujian nasional mengharapkan adanya peningkatan kualitas guru dan kualitas pendidikan terlebih dahulu sebelum diselenggarakannya ujian nasional. Selain itu, ada pula yang menyarankan semoga ujian final cukup dilakukan sekolah, karena sekolah yang tahu ihwal perkembangan siswa dan sekolah yang bertanggungjawab atas pencapaian berguru siswa.
Akhirnya, berdasarkan aneka macam pandangan, munculah beberapa saran untuk perbaikan UN diantaranya: (1) Ujian nasional jalan terus dengan beberapa perbaikan untuk mendorong guru mengajar, mendorong siswa berguru dan untuk kesatuan bangsa, (2) Ujian nasional dilaksanakan apabila semua standar pendidikan sudah dipenuhi, (3) Hasil ujian nasional hanya digunakan untuk pemetaan kualitas pendidikan saja, bukan untuk menentukan kelulusan dari satuan pendidikan, (4) Kelulusan penerima didik dari satuan pendidikan ditentukan oleh sekolah atau guru saja (Djemari Mardapi, 2012: 229).
Berdasarkan saran yang dikemukakan oleh aneka macam pihak, maka pemerintah yang berwenang dalam penyelenggaraan pendidikan nasional senantiasa melaksanakan perbaikan dalam penyelenggaraan UN. Sebenarnya, produk kebijakan berupa UN bukanlah hal gres dalam praksis pendidikan nasional. UN telah lama ada dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, namun UN dikenal dengan aneka macam istilah dalam periode penyelenggaraannya. Wacana akan adanya upaya perbaikan ujian nasional pada tahun pelajaran mendatang, memerrlukan adanya kajian untuk dapat memahami wacana yang dikemukakan.
UN Dipertahankan Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan
Ujian nasional pada dasarnya bertujuan untuk mendorong peningkatan kompetensi guru, mendorong guru semoga melaksanakan pembelajaran dengan baik, dan menggunakan sistem asesmen yang tepat. Menurut hasil kajian yang dilakukan oleh Djemari Mardapi pada tahun 2009, Ujian nasional bisa meningkatkan kualitas pembelajaran dan kualitas berguru penerima didik. Karena sebagaimana yang telah dikemukakan, secara kerangka pemikiran, ujian nasional diharapkan dalam penyelenggaraan praksis pendidikan nasional. Ujian nasional notabenenya merupakan episode dari evaluasi hasil berguru penerima didik diharapkan untuk menunjukkan informasi mengenai kemajuan berguru penerima didik dari proses berguru yang telah dijalani. Pemahaman mengenai evaluasi berguru ini telah dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, ihwal Sistem Pendidikan Nasional Pasal 58 ayat (2) yang menjelaskan bahwa, evaluasi penerima didik, satuan pendidikan dan agenda pendidikan dilakukan oleh lembaga mampu bangkit diatas kaki sendiri secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Dalam hal ini, ujian nasional termasuk ke dalam asesmen sumatif atau assessment of learning. Asesmen sumatif diharapkan untuk menunjukkan gambaran mengenai tingkat keberhasilan pendidik mengajar dan penerima didik belajar. Menurut Bambang Subali (2012: 12) tujuan asesmen sumatif ialah untuk (1) menentukan nilai final seluruh penerima penempuh agenda pembelajaran, semoga dapat dinyatakan berhasil atau gagal. Bila berhasil maka akan dapat diberi sertifikat karena ia telah menguasai kecakapan ataupun keterampilan tertentu yang ditargetkan dalam agenda pembelajaran yang dirancang, (2) meramalkan kecakapan subjek berguru dalam menyelesaikan program/semester berikutnya, (3) menetapkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan suatu agenda pembelajaran.
Berdasarkan pemahaman mengenai penilaian sumatif tersebut, maka kompetensi yang dimiliki penerima didik harus diinformasikan. Selain bermanfaat untuk pihak internal sekolah, kompetensi penerima didik harus mendapat legalisasi dari pihak eksternal menyerupai orang tua, masyarakat dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Untuk itu, semoga informasi mengenai kompetensi penerima didik tidak bias, maka haruslah pihak eksternal yang independen dan professional yang menyusun ujian nasional. Hal ini juga dijelaskan oleh Greaney dan Kellaghan (dalam Djemari Mardapi, 2010: 25) bahwa asesmen nasional harus dilaksanakan oleh tubuh yang kredibel semoga hasilnya bisa diterima masyarakat. Badan yang kredibel tersebut di Indonesia ialah Badan Standar Nasional Pendidikan (Pasal 67 dan Pasal 74 PP 19 Tahun 2003, yaitu yang anggotanya terdiri atas ahli-ahli dalam psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum dan administrasi pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman, dan akad untuk peningkatan mutu pendidikan.
Karena wilayah Indonesia sangat luas dan terdiri dari banyak pulau dengan kondisi masyarakat yang beraneka ragam, maka diharapkan standarisasi dalam pendidikan. Hal ini diharapkan semoga kualitas pendidikan di setiap wilayah Indonesia memiliki kualitas yang sama sehingga dapat menghasilkan sumber daya insan yang kompeten. Sebagai contoh, penerima didik yang berada di wilayah Indonesia Timur menyerupai Maluku dapat bersaing dengan penerima didik di wilayah Barat Indonesia menyerupai Surabaya. Melalui ujian nasional diharapkan tidak ada diskriminasi wilayah, karena adanya upaya standarisasi kompetensi penerima didik. Sehingga penerima didik dapat memperoleh jalan masuk pendidikan yang berkualitas, tanpa ada ketimpangan yang disebabkan oleh adanya perbedaan sistem ujian atau sistem kelulusan yang dikembangkan oleh sekolah atau wilayah. Nitko dan Brookhart menjelaskan, pada dasarnya, penggunaan tes standar akan menunjukkan hasil yang bisa dibandingkan antar tempat (Djemari Mardapi, 2012: 229).
Namun, dalam penyelenggaraannya ujian nasional sering dianggap sebagai alat diskriminasi. Hal ini sebenarnya, kurang tepat, karena sebagaimana yang telah dikemukakan, ujian nasional merupakan episode dari evaluasi sumatif. Hal tersebut pertanda bahwa setelah ujian nasional diselenggarakan, bukan hanya berkaitan dengan kelulusan penerima didik, melainkan juga diperlukannya evaluasi terhadap seluruh aspek yang berkaitan dengan hasil penerima didik. Melalui hasil evaluasi ini nantinya akan didapatkan aspek mana saja yang perlu diperbaiki. Menurut Djemari Mardapi, Hasil ujian nasional dapat dijadikan masukan terhadap perbaikan proses pembelajaran di suatu pendidikan atau sekolah. Harapan terhadap ujian nasional ialah mendorong pendidik untuk selalu menyempurnakan taktik pembelajaran yang digunakan di kelas. Penyempurnaan atau perbaikan ini diharapkan akan meningkatkan prestasi berguru penerima didik baik pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif. Semua aspek ini penting dan harus dinilai untuk mengetahui pencapaiannya.
UN dari Masa ke Masa
Sebagaimana yang telah dikemukakan, UN telah melewati masa yang panjang dalam praksis pendidikan nasional. Secara singkat, berikut ini akan diuraikan mengenai penyelenggaraan ujian nasional selama beberapa periode. Berikut ini Djemari Mardapi (2012: 225-228) menjelaskan perkembangan ujian nasional dalam sistem pendidikan nasional, sebagai berikut:
Ujian final yang bersifat nasional dimulai semenjak tahun 1950 yang dikenal dengan ujian penghabisan. Soal ujian dirakit di kantor Direktorat di Jakarta, dan dikirim ke semua kota yang memiliki SMA/SMP (Benny Suparapto, 2000). Pada final tahun 1969, Ujian Negara diselenggarakan pada tingkat provinsi. Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) mulai dilaksanakan di sekolah-sekolah percobaan, yaitu di IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, dan IKIP Malang dengan ketentuan bahwa ijazah yang dikeluarkan dihargai sama dengan ijazah negara. Pada tahun 1970, ujian negara diselenggarakan pada tingkat kabupaten, sementara EBTA diteruskan dan diperluas ke IKIP lainnya.
Untuk melaksanakan saran bahwa guru yang paling tahu ihwal kemampuan siswa dan “Ujian Penghabisan” hanya merupakan potret sesaat dan tidak mencerminkan kemampuan siswa selama berguru di SMP atau SMA, maka pada tahun 1971 semua ujian untuk semua tingkat dan jenis sekolah dilakukan sekolah masing-masing. Ketetapan ini tertuang dalam kurikulum SMP/SMA tahun 1975. Kebebasan ini mendorong siswa meluluskan semua siswanya. Hasilnya ialah nilai yang didapat dari satu sekolah tidak bisa dibandingkan dengan sekolah lain karena soal yang digunakan berbeda dan kemungkinan cara penilaiannya juga berbeda. Akibatnya siswa yang berasal dari sekolah yang kurang baik tidak bisa bersaing untuk masuk ke sekolah yang baik, walau memperoleh nilai yang sama dari hasil ujian akhir. Makara usaha peningkatan mutu dengan memberi wewenang penuh pada sekolah dalam menyelenggarakan ujian final tidak tercapai, karena nilai yang diperoleh siswa tidak menunjukkan kemampuan yang sebenarnya.
Dalam kurikulum 1975, evaluasi hasil berguru dilakukan secara berkelanjutan. Ada evaluasi formatif dan evaluasi sumatif pada tiap final semester. Evaluasi sumatif pada semester 6 disebut dengan Evaluasi Tahap Akhir (EBTA). Pada sistem EBTA, setiap provinsi dan kabupaten menyusun dan menyelenggarakan sendiri ujian untuk sekolah-sekolah di wilayahnya serta menerbitkan ijazah untuk siswa lulusannya. Kesemua itu menjadi wewenang masing-masing sekolah menetapkan kelulusan. Pada sistem ini, ada sekolah yang “mempermudah” kelulusan da nada sekolah yang “mempersukar” kelulusan. Akibatnya, rentang mutu pendidikan dari satu sekolah ke sekolah yang lain menjadi sangat lebar.
Acuan norma juga pernah digunakan pada kurikulum 1975 dalam menentukan kelulusan siswa. Penggunaan pola norma ini juga menuai protes, karena dengan menggunakan distribusi normal tentu tiap sekolah ada yang lulus dan ada yang tidak lulus, walau pada sekolah yang baik. Menurut asesmen guru, siswa lulus tetapi setelah nilainya dikonversi ke distribusi normal siswa menjadi tidak lulus.
Selanjutnya, untuk memperbaiki sistem evaluasi, evaluasi sumatif yang dikenal dengan EBTA diganti dengan EBTA yang menggunakan satu pola nasional, yang selanjutnya diberi nama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Pada EBTANAS kelulusan siswa ditentukan oleh hasil evaluasi sekolah oada semester 5 (P) dan pada semester 6 (Q), dan hasil EBTANAS (R). Kelulusan siswa ditentukan nilai yang diperoleh dengan menggunakan formula: (P + Q + nR)/ (2 + n). Harapan penggunaan formula ini ialah nilai n yang semakin lama semakin besaar. Evaluasi pelaksanaan EBTANAS (Djemari, 1999) menyimpulkan ada sejumlah sekolah menentukan nilai n tetap kecil dan cukup banyak sekolah yang menentukan nilai n setelah diperoleh hasil EBTANAS, dengan keinginan semoga banyak atau semua siswa lulus. Tujuan penyelenggaraan EBTANAS untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan meningkatkan nilai n dari tahun ke tahun tidak tercapai.
Selanjutnya mulai tahun 2001, EBTANAS berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Pada UAN ada sepuluh mata pelajaran yang diujikan, tiga mata pelajaran disusun oleh sentra asesmen pendidikan dan sisanya tujuh mata pelajaran disusun oleh sekolah atau daerah. Hasil evaluasi terhadap dampak UAN (Djemari, 2004) menyimpulkan bahwa dampak positif UAN ialah sekolah berusaha meningkatkan kualitas pembelajaran, semangat guru mengajar dan semangat siswa berguru meningkat, perhatian orang bau tanah terhadap berguru anaknya meningkat. Dampak negatifnya ialah tingkat kecemasan guru dan siswa meningkat.
Selanjutnya pada tahun 2005, sesuai dengan PP 19 tahun 2005, istilah UAN berubah menjadi ujian nasional (UN), yang penyelenggaraannya diserahkan ke tubuh independen, yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Mulai tahun 2005 tersebutlah semua unsur tetap melaksanakan asesmen dan hasilnya digunakan untuk menentukan kelulusan dari satuan pendidikan. Ada asesmen oleh guru, asessmen oleh sekolah dalam bentuk ujian sekolah, dan ada asesmen oleh pemerintah dalam bentuk ujian nasional. Pendidik melaksanakan asesmen komponen budpekerti mulia, kepribadian dan kewarganegaraan, sekolah melaksanakan asesmen komponen estetika, pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan. Asesmen dilakukan dalam bentuk tes tertulis, tes perbuatan, dan pengamatan. Masing-masing nilai bangkit independen dalam menentukan kelulusan, yaitu ada batas lulus untuk tiap komponen penilaian. Kelulusan siswa dari satuan pendidikan ditentukan oleh nilai dari guru, nilai hasil ujian sekolah, dan nilai ujian nasional. Ujian nasional telah mengalami banyak perkembangan. Kelulusan penerima didik pernah ditentukan oleh satuan pendidikan dan oleh pemerintah.
Sejak tahun 2005 tersebutlah, ujian final menggunakan nama UN (ujian nasional). Namun, dalam penyelenggaraannya hingga tahun pelajaran 2016/2017, sistem ujian nasional sebagai salah satu penentu kelulusan penerima didik mengalami aneka macam pembiasaan yang didasarkan pada masukan dan hasil evaluasi yang telah dilakukan. Namun, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ujian nasional masih ada dalam sistem pendidikan nasional dan menjadi episode dari evaluasi pembelajaran yang menjadi salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan.
Ujian Nasional Saat Ini
Sejak diterapkan ujian nasional, muncul beberapa kritik dan saran terhadap ujian nasional. Semua oke adanya standar kompetensi lulusan dan sebagian besar oke dengan ujian nasional, namun diharapkan perbaikan pada beberapa aspek terkait. Akhirnya, berdasarkan masukan dari legislatif dan masyarakat, serta evaluasi penyelengaaraan UN, secara perlahan-lahan penyelenggaraan UN mulai diperbaiki. Pada tahun pelajaran 2010/2011 terjadi perubahan pada kriteria kelulusan ujian nasional untuk tahun pelajaran ini. Sekolah melaksanakan ujian sekolah yang soalnya dibuat oleh sekolah. Hasil ujian sekolah digabung dengan nilai rata-rata rapor dengan bobot: nilai ujian sekolah 60% dan nilai rata-rata rapor 40%. Nilai gabungan ini selanjutnya disebut dengan nilai sekolah (NS). Selanjutnya nilai sekolah digabung dengan nilai ujian nasional menjadi nilai final (NA) dengan formula: 60% nilai UN dan 40% nilai sekolah.
Peserta didik dinyatakan lulus dari ujian nasional bila memiliki rata-rata nilai final paling rendah 5,0 dan nilai pada tiap mata pelajaran paling rendah 4,0. Kriteria kelulusan ini tampak disambut baik oleh masyarakat. Kriteria ini tidak mengakibatkan kecemasan pada pendidik dan penerima didik karena adanya nilai sekolah yang digabung untuk menentukan kelulusan dari ujian nasional. Kelulusan penerima didik dari satuan pendidikan tetap ditentukan oleh sekolah melalui rapat dewan guru dengan memperhatikan budpekerti mulia penerima didik. Pada akhirnya, penyelenggaraan UN pada remaja ini mengacu pada sistem UN tahun pelajaran 2010/2011 tersebut.
Ujian nasional yang berlaku pada beberapa tahun terakhir, tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Kebijakan ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa yang paling mengetahui kemampuan berguru siswa ialah guru yang mengajar di kelas. Maka, ujian nasional hanya dijadikan salah satu penentu kelulusan bersama dengan ujian sekolah dan rapat dewan guru. Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah No 3 Tahun 2017 mengenai penilaian hasil berguru oleh pemerintah dan penilaian hasil berguru oleh satuan pendidikan. Melalui PP ini dikenal adanya UNBK atau ujian nasional berbasis komputer dan USBN atau ujian sekolah berbasis komputer.
Tujuan diselenggarakannya UNBK dan USBK ialah meminimalisir terjadinya kecurangan, meminimalisir kesalahan distribusi soal, serta mempermudah dan mempercepat pengumpulan dan penilaian hasil ujian. Setelah terselenggaranya ujian berbasis komputer ini pada beberapa sekolah, belum dilakukan evaluasi, namun wacana yang berkembang ujian akan tetap dilaksanakan berbasis computer pada tahun mendatang dan menyasar lebih banyak sekolah yang awalnya belum melaksanakan ujian berbasis komputer.
Selain mengupayakan perbaikan teknis penyelenggaraan UN yang berbasiskan komputer, pemerintah mencanangkan bentuk soal ujian ialah pilihan ganda dan uraian. Kebijakan ini diambil berdasarkan pertimbangan, bahwa soal berbentuk pilihan ganda kurang bisa menggambarkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking) siswa yang secara hakikat berupaya dicapai oleh kurikulum yang berlaku.
Untuk memahami bentuk soal uraian yang dicanangkan ada dalam UN, berikut ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan soal berbentuk uraian:
Bentuk instrumen uraian
Djemari (2012: 121) menjelaskan instrumen uraian dibagi menjadi dua, yakni uraian objektif dan uraian non objektif. Bentuk soal uraian objektif sangat sempurna digunakan untuk bidang matematika dan IPA, karena kunci jawabannya hanya satu. Pengerjaan soal ini melalui suatu prosedur atau langkah-langkah tertentu. Setiap langkah ada skornya. Objektif disini dalam arti apabila diperiksa oleh beberapa pendidik dalam bidang studi tersebut hasil penskorannya akan sama. Pertanyaan pada bentuk soal ini diantaranya adalah: hitunglah. tafsirkan, buatlah, simpulkan, dan sebagainya.
Kemudian, Bambang Subali menjelaskan beberapa syarat yang perlu diperhatikan dalam pengembangan instrumen bentuk uraian, yakni:
Syarat item bentuk uraian
Dari segi materi
1. Soal sesuai indikator
2. Batasan pertanyaan dan tanggapan yang di harapkan jelas
3. Isi materi sesuai dengan tujuan pengukuran
4. Isi materi yang di tanyakan sesuai dengan jenjang,jenis sekolah dan tingkat kelas.
Dari aspek konstruksi
1. Rumusan kalimat dalam bentuk kalima tanya atau perintah yang menuntut jawaban
2. Ada petunjuk yang terperinci mengerjakan / menyelesaikan soal
3. Ada pedoman penskoran
4. Tabel, grafik, diagram, kasus atau yang sejenisnya bermakna (jelas keterangannya atau ada
hubunganya dengan persoalan yang di tanyakan
5. Item tidak bergantung pada item sebelumnya
Dari Aspek bahasa
1. Rumusan kalimat soal komunikatif
2. Kalimat mengunakan bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan jenis bahasanya.
3. Rumusan kalimat tidak mengakibatkan penafsiran ganda atau salah pengertian
4. Mengunakan bahasa/ kata yang umum ( bukan bahasa lokal)
5. Rumusan soal tidak mengandung kata-kata dapat menyinggung perasaan siswa
Uraian Non-Objektif/Terbuka
Selanjutnya, bentuk uraian non-objektif dikatakan non-objektif karena penilaian yang dilakukan cenderung dipengaruhi subyektivitas dari penilai. Bentuk tes ini menuntut kemampuan penerima didik untuk menyampaikan, memilih, menyusun dan memadukan gagasan atau wangsit yang telah dimilikinya dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Keunggulan dari bentuk tes ini dapat mengukur tingkat berpikir dari yang rendah hingga yang tinggi, yaitu mulai dari hafalan hingga dengan evaluasi. Namun demikian, sebaiknya hindarkan pertanyaan yang mengungkap pertanyaan hafalan, yang dimulai dengan kata apa, siapa, dimana.
Selain itu, bentuk ini relatif mudah membuatnya. Kelemahan dari bentuk tes ini adalah: (1) penskoran sering dipengaruhi oleh subyektivitas penilai, (2) memerlukan aktu yang lama untuk memeriksa lembar jawaban, (3) cakupan materi yang diujikan sangat terbatas, dan (4) adanya efek bluffing. Untuk menghindari kelemahan tersebut cara yang ditempuh adalah: (1) tanggapan tiap soal tidak panjang, sehingga bisa mencakup materi yang banyak, (2) tidak melihat nama penerima ujian, (3) memeriksa tiap butir secara keseluruhan tanpa istirahat, (4) menyiapkan pedoman penskoran. Langkah membuat soal ini ialah sebagai berikut:
Menulis soal berdasarkan kisi-kisi pada indikator
Mengedit pertanyaan
Apakah pertanyaan mudah dimengerti?
Apakah data yang digunakan benar?
Aapa tata letak keseluruhan baik?
Apakah pertolongan bobot skor sudah baik?
Apakah kunci tanggapan sudah benar?
Apakah waktu untuk mengerjakan tes cukup?
Kaidah penulisan soal bentuk uraian non-objektif:
Gunakan kata-kata: mengapa, uraikan, jelaskan, bandingkan,
tafsirkan, hitunglah, buktikan.
Hindari penggunaan pertanyaan: siapa, apa, bila
Menggunakan bahasa Indonesia yang baku
Hindari penggunaan kata-kata yang ditafsirkan ganda
Membuat petunjuk penggunaan soal
Membuat kunci jawaban
Membuat pedoman penskoran
Penskoran bentuk tes ini bisa dilakukan secara analitik atau global. Analitik berarti penskoran dilakukan bertahap sesuai kunci jawaban, sedang yang global dibaca secara keseluruhan untuk mengetahui wangsit pokok dari tanggapan soal kemudian diberi skor.
Sumber Pustaka
Bambang Subali & Pujiati Suyata. (2012). Pengembangan item tes konvergen dan divergen dan penyelidikan validitasnya secara empiris. Yogyakarta: Diandra.
Bambang Subali. (2010). Panduan praktikum penilaian, evaluasi dan remediasi hasil berguru biologi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Bambang Subali. (2009). Tes pengukuran keterampilan proses sains pola divergen mata pelajaran biologi. [Versi elektronik]. Universitas Negeri Yogyakarta.
Djemari Mardapi. (2012). Pengukuran, penilaian dan evaluasi pendidikan. Yogyakarta: Yuha Medika.
Djemari Mardapi. (2008). Teknik penyusunan tes dan non tes. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.
Djemari Mardapi dan Badrun Kartowarigan. (2009). Laporan Penelitian. Dampak Ujian Nasional. Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, ihwal Sistem Pendidikan Nasional
Permendikbud RI Nomor 3 Tahun 2017 ihwal Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah dan Penilaian Hasil Belajar oleh satuan Pendidikan
Sumber http://www.eurekapendidikan.com
0 Response to "Ujian Nasional dalam Pendidikan Nasional"
Post a Comment