-->

Eksklusi Pendidikan

Eksklusi Pendidikan

Oleh Agus Mauluddin

Email: agusmauluddin165@live.com
Penulis ialah Alumni Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP UIN SGD Bandung dan Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Indonesia. 
Penulis
Agus Mauluddin

Ngelmu. Jumlah penduduk miskin di indonesia mencapai 28,59 juta. Dari jumlah penduduk miskin tersebut dapat dirincikan persentase penduduk miskin di tempat perkotaan 8,29 persen atau sekitar 10,65 juta, sementara di tempat pedesaan 14,21 persen atau sekitar 17, 94 juta (BPS, 2015)

Penulis
Johneducation.com

Terdapatnya keterkaitan antara Kemiskinan dengan Pendidikan dan begitu pula pendidikan dengan Eksklusi Sosial yang disebabkan kemiskinan. Eksklusi sosial dibidang pendidikan merupakan implikasi dari kemiskinan. Seperti disebutkan Smith dan Noble dikutip Harlambos dan Halborn (2004):

In a study of the effect of poverty on schooling. Barriers to learning which can result from low income.”

Namun terdapat pula masyarakat berpenghasilan rendah (bukan miskin) yang memilki kesadaran tinggi terhadap pendidikan. Mereka tetap menyekolahkan anaknya walaupun keadan ekonomi keluarga sulit. Hal ini berimplikasi pada proses pembelajaran di sekolah, Smith dan Noble menyerupai dikutip Harlambos dan Halborn (2004) menyebutkan hambatan-hambatan dalam berguru yang disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering disebut dengan istilah Barriers to Learning, yaitu diantaranya:

  1. Ketidakmampuan untuk menerima seragam sekolah, perjalanan ke sekolah, transportasi ke sekolah dan dari sekolah, kemudahan berguru di kelas, dan untuk beberapa kasus sulitnya menerima sumber bacaan sekolah. Hal demikian dapat menimbulkan anak terisolasi, tertindas, dalam proses berguru disekolah meraka.
  2. Anak anak dari keluarga yang berpendapatan rendah kemungkinan besar mengalami duduk perkara kesehatan yang bisa mensugesti kehadiran dan proses berguru di sekolah. 
  3. Ekonomi rendah diartikan bahwa orang renta tidak bisa menunjukkan biaya atau kanal pendidikan privat untuk anak mereka. 
  4. Ekonomi rendah sangat mungkin tidak memiliki kanal komputer rumah dengan internet, meja belajar, alat peraga, buku, tempat saat mengerjakan PR, dan rumah yang nyaman dan baik untuk menunjang belajar.
  5. The marketization of school memungkinkan peningkatan polarisasi keberhasilan, kemudahan sekolah yang baik berada di tempat maju sedangkan sekolah-sekolah berfasilitas rendah ada di tempat miskin. Hal tersebut akan mengurangi kesempatan belum dewasa dari keluarga miskin untuk menerima pendidikan yang layak.


Selain konsep Barriers to Learning, permasalahan-permasalahan dalam dunia pendidikan yang sifatnya eksklusi yaitu Poverty penalty menjelaskan fenomena dimana masyarakat miskin membayar lebih mahal untuk makan dan membeli barang dibandingkan masyarakat kelas atas (Prahalad, 2009).

Menurut Muller dan Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di tempat terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di tempat lingkungan informal dimana kurangnya lnfrastruktur khususnya transportasi.

Jika ditanya, bagaimana dengan kasus di Indonesia? Apakah kedua konsep di atas relevan dengan konteks masyarakat Indonesia sampaumur ini? Jawabannya ialah Benar. Benar masih saja di beberapa tempat di Indonesia dapat kita temukan permasalahan-permasalahan yang ada seputar pendidikan. 

Seperti misalnya sebuah info dari Tempo (2015), menyebutkan bahwa jarak tempuh untuk mencapai sekolah tidak bisa dikatakan jaraknya dekat, menyerupai berikut:

“Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data bahwa berdasarkan hasil pendataan potensi desa yang dilakukan tiga kali dalam sepuluh tahun, sebanyak 10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar (SD) atau mencapai 13,37 persen. "Sebanyak 10.985 desa masih belum memiliki sekolah dasar, termasuk madrasah ibtidaiyah, atau sebesar 13,37 persen dari total 82.190 desa," kata Kepala BPS Suryamin dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, 16 Februari 2015.
Suryamin mengatakan, dari 10.985 desa yang tidak memiliki sekolah dasar tersebut, sebanyak 2.438 desa atau kelurahan di antaranya memiliki jarak tempuh sedikitnya tiga kilometer ke SD terdekat. Sedangkan 86,63 persen lainnya sudah memiliki sarana sekolah dasar.
"Untuk sarana pendidikan SLTP sudah ada di 6.799 kecamatan, atau mencapai 96,11 persen. Adapun 275 kecamatan atau 3,89 persen tidak memiliki sarana pendidikan SLTP," ujar Suryamin. 
Dari 275 kecamatan yang tidak memiliki sarana pendidikan SLTP tersebut, sebanyak 66,91 persen, atau 184 kecamatan, jarak tempuh ke SLTP terdekat lebih dari enam kilometer 
Untuk tingkat SLTA, masih terdapat 816 kecamatan atau 11,54 persen yang belum memiliki sarana pendidikan tersebut. Sebanyak 508 kecamatan di antaranya, jarak tempuh ke SLTA terdekat lebih dari enam kilometer. 
Berdasarkan data tersebut mengambarkan bahwa mereka (anak-anak yang berada di tempat terpencil dan miskin) harus “mengeluarkan biaya lebih untuk bersekolah” atau dengan kata lain mereka kena Poverty Penalty. Senada dengan apa yang dijelaskan Muller dan Mendoza (2011) masyarakat miskin membayar lebih mahal disebabkan karena mereka tinggal di tempat terpencil dengan biaya transportasi lebih mahal atau karena mereka tinggal di tempat lingkungan informal dimana kurangnya infrastruktur khususnya transportasi. Selain itu pula data tersebut mengambarkan bahwa Barriers to Learning begitu kentara disana. Masih ada di beberapa Desa, atau kecamatan tidak memiliki sarana pendidikan yang menunjang pendidikan mereka. Seperti yang disebutkan Harlambos dan Halborn (2004) hambatan-hambatan dalam berguru yang disebabkan karena faktor pendapatan (ekonomi), atau sering disebut dengan istilah Barriers to Learning, yaitu ketidakmampuan untuk mendapat kemudahan berguru di kelas, dan sulitnya menerima sumber bacaan sekolah.

Solusi yang penulis tawarkan untuk pemerintah yaitu pertama, pemerintah harus benar-benar mengupayakan (secara struktural) misalnya dengan program-program yang berorientasi pada “pembangunan” masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil. Misalnya aktivitas KIP (Kartu Indonesia Pintar). Program tersebut harus diupayakan bisa mencapai sampai daerah-daerah terpencil secara massif. Kedua, pemerintah harus men-support kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CSO atau komunitas-komunitas, jikalau perlu dibentuklah regulasi yang mengambarkan apresiasi pemerintah kepada CSO. 

Program CSR yang menurut hemat penulis bisa “meratakan” pendidikan sampai ke daerah-daerah yaitu CSR yang berupa beasiswa. Namun permasalahannya pada tataran teknis pengimplementasian beasiswa tersebut (kerap terjadi salah sasaran). Maka solusinya ialah perlu “seleksi manajemen dan kapabilitas” akseptor beasiswa secara bertanggung jawab, jikalau perlu tanda tangan di atas materai dan dilibatkannya lembaga penegak hukum jikalau dikemudian hari terdapat kecurangan. 

Peran komunitas atau hadirnya CSO menyerupai yang sudah dipaparkan sebelumnya,  Seperti misalnya Gerakan Indonesia Mengajar (2015) besutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala sampaumur ini. Seperti tag line  atau moto yang diusung “Berhenti mengeluh tidaklah cukup. Berkata-kata bagus penuh semangat juga tidak pernah cukup. Lakukan sesuatu sekarang. Bergabung dalam kerumunan konkret dan terlibat membangun masyarakat sipil yang kuat.” Gerakan-gerakan masyarakat sipil menyerupai ini dapat menjangkau desa-desa terpencil sekalipun, sehingga kesamaan kesempatan (Equality of Oppertunity) dalam mengakses pendidikan oleh anak - anak di tempat dapat tercapai dan yang paling utama dengan adanya CSO atau komunitas-komunitas tentunya dapat membantu pemerintah dalam menyelesaikan “pekerjaan-pekerjaan rumahnya”.


DAFTAR PUSTAKA
Haralambos & Holborn, 2004, Sociology (Theme and Perspectives), London: Harper Collins Publisher

Mendoza, R.U, 2011, Why do the poor pay more? Exploring the poverty penalty concept. Journal of International Development

Muller, C, 2002, Prices and living standards: evidence from Rwanda. Journal of Development Economics 

Prahalad, C. K, 2009, The fortune at the bottom of the pyramid, FT Press

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/17/079643025/bps-10-985-desa-tidak-punya-sekolah-dasar, diakses pada tanggal 25 Oktober 2015

www.bps.go.id, diakses pada tanggal 25 Oktober 2015

https://indonesiamengajar.org, diakses pada tanggal 25 Oktober 2015

Sumber http://www.eurekapendidikan.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Eksklusi Pendidikan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel