Resensi Buku: Sang Guru
Sang Guru
(Novel Biografi, Ki Hajar Dewantara, Kehidupan, Pemikiran, dan Perjuangan Pendiri Taman Siswa)
Haidar Musyafa
Penerbit : Imania, Jakarta, 2015, 416 pp.
Ngelmu. Ki Hajar Dewantara dilahirkan pada hari kamis legi, 2 Ramadhan 1309 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1889. Karena keluarga besar ia merupakan keturunan pangeran Kadipaten Puro Pakualaman yang notabenenya ialah seorang ningrat, maka nama lengkapnya menjadi Raden Mas Soewardi Soejaningrat (p.31). Soewardi kecil mendapatkan pendidikan pesantren di Kalasan asuhan Kyai Haji Soleman Abdurrohman (p.47). Setelah ayah Soewardi merasa bahwa ilmu agama yang diperoleh anaknya dari pondok pesntren sudah cukup. Maka, ayah Soewardi memutuskan untuk memasukan Soewardi ke sekolah Govermen Belanda, yakni ELS (Eropessche Lagere School) yang berada di kampung Bintaran erat dengan kadipaten tempat tinggal Soewardi (p.55).
Setelah lulus dari ELS, ayah Soewardi menginginkan Soewardi melanjutkan sekolah ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) yang merupakan sekolah bagi calon pegawai Govermen Belanda. Namun, Soewardi lebih memilih untuk melanjutkan sekolah ke Kweekschool, yang merupakan sekolah bagi calon guru. Karena Soewardi sudah mencicipi adanya kesenjangan pendidikan antara belum dewasa Belanda, anak ningrat dan rakyat jelata (p.66). Daalam perjalananya, Soewardi bertemu dengan dr. Wahidin Soedirohoesodo yang memperlihatkan pendidikan dokter bagi belum dewasa bangsawan. Mendengar pemaparan dr. Wahidin bahwa rakyat kekurangan tenaga medis, maka Soewardi memutuskan untuk meninggalkan sekolah Kweekschool dan memilih melanjutkan sekolah di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang terletak di Batavia (p.84).
Di STOVIA, Soewardi bertemu dengan belum dewasa ningrat lain dari aneka macam kawasan yang ternyata memiliki visi perjuangan yang sama dengannya. Sehingga, kegiatannya di sekolah tidak hanya diisi dengan berguru mata pelajaran sekolah saja melainkan diisi dengan diskusi-diskusi kebangsaan. Akhirnya, melalui pelajar yang berguru di STOVIA inilah, pada tahun 1908 lahirlah organisasi Boedi Oetomo (p.106). Boedi Oetomo berupaya menjadi wadah aspirasi bagi cowok inlander, terutama melalui dunia jurnalistik. Kegiatan yang cukup padat, baik di sekolah maupun di Boedi Oetomo hasilnya membuat kondisi kesehatan Soewardi semakin menurun (p.126). Kondisi tersebut cukup menghipnotis kualitasnya sebagai seorang pelajar. Sehingga, tanpa disangka, pada ketika pengumuman kenaikan kelas ke kelas lima ternyata Soewardi dinyatakan tidak naik kelas alasannya ialah nilainya terlalu jelek (p.132).
Perasaan kecewa yang teramat dalam menggelayuti pikiran Soewardi ketika itu, namun alasannya ialah tunjangan keluarga dan teman-teman, Soewardi berupaya bangun dan mendapatkan kenyataan. Pada tahun 1910, Soewardi mendapatkan ajuan pekerjaan sebagai hebat kimia di Laboratorium Pabrik Gula Kalibogor (p.139). Namun, pada tahun 1911, Soewardi menyatakan mengundurkan diri dari pekerjaannya alasannya ialah ia tidak sanggup melihat rakyat yang bekerja dipelakukan secara garang (p.144). Di ketika yang sama, Boedi Oetomo sedang berupaya menetapkan tujuan. Soewardi mendapatkan undangan untuk bergabung dengan organisasi Sarekat Dagang Islam, yang merupakan organisasi perjuangan yang bergerak di bidang politik dan agama. Pada organisasi terssebut, Soewardi menjadi penulis yang aktif menulis di aneka macam media masa (p.158-159). Mulai dari sanalah kemudian Soewardi mengenal berkenalan dengan organisasi lainnya.
Pada tahun 1913 Soewardi menikah dengan Raden Ayu Soetartinah, yang juga merupakan kerabat dari ayah Soewardi (p.1913). Beberapa hari setlah pernikahan, Soewardi ditangkap oleh polisi Belanda alasannya ialah dianggap menyampaikan tunjangan pada rakyat melalui tulisan-tulisannya (p.190). Akhirnya, sebagai hukumannya Soewardi diasingkan dan ia memilih untuk diasingkan ke Belanda (p.191). Di Belanda kehidupan Soewardi dan Soetartinah sangat terkatung-katung (p.204). Namun, di Belanda justru Soewardi didekatkan kembali dengan impian masa lalunya untuk menjadi seorang guru. Soewardi berteman baik dengan Mr. John Dewey, Mr. Rabindranat Tagore, Mr.J.J. Rousseau, dr. Maria Montessori, Mr. Kerschensteiner dan Mr. Frobel (p.218). Soewardi sangat kagum pada metode Frobel yang menerapkan pendidikan dengan menyanyi dan bermain. Kemudian, metode dr.Maria yang menerapkan metode pendidikan dengan menitik beratkan pada panca indra (pp.218-219).
Lama berkiprah di dunia tulis menulis di organisasi, Soewardi memutuskan untuk kembali memfokuskan dirinya pada dunia pendidikan. Karirnya sebagai seorang pendidik, diawali dengan menjadi guru di sekolah Adhi Darmo yang didirikan kakaknya Raden Mas Soerjopranoto (p.248). Setelah satu tahun Soewardi menjadi guru, munculah ilham gagasannya untuk mendirikan sekolah sendiri. Akhirnya, pada 3 Juli 1922, Soewardi memutuskan untuk mendirikan sekolah gres yang Ia beri nama National Onderwijs Instituut Tamansiswa” (p.266). Sekolah yang didirannya tersebut, merupakan bentuk protesnya terhadap sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda yang bahwasanya tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia (p.283). Oleh alasannya ialah itu, filosofi dan seluruh acara di Tamansiswa dilandasi oleh kebudayaan bangsa Indonesia, semoga belum dewasa Inlander dapat menjadi seorang intelektual yang berbudi pekerti serta mencintai tanah airnya (p.287).
Pada 1932, pemerintah Belanda menyita semua barang-barang yang ada di Tamansiswa, alasannya ialah Tamansisawa tidak membayar pajak pada pemerintah Belanda (p.296). Barang-barang yang disita tersebut kemudian dilelang ke bangsawan-bangsawan sampai membuat hati Soewardi merasa sangat marah sekaligus sedih. Namun, diluar dugaannya ternyata bangsawan-bangsawan tersebut menyampaikan barang-barang yang telah dilelang tersebut untuk Tamansiswa kembali (p.297). Setelah pendirian Tamansiswa tersebut, Soewardi mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada 23 Februari 1928 (p.299).
Selama berjalannya waktu, Tamansiswa semakin berkembang. Ki Hadjar Dewantara pun dikenal dengan pencetus pendidikan Indonesia. Hal tersebut membawanya pada jabatan sebagai Menteri Pengadjaran pada awal kemerdekaan dan juga anggota DPR pada pemerintahan RIS pada 1949 menjelang 1950 (Republik Indonesia Serikat) (p.362). Namun pada tahun 1950, Ki Hadjar memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota DPR dan memilih mengurus Tamansiswa (p.394). Selama mengurus Tamansiswa, Ki Hadjar tidak berpangku tangan, Ia pun masih aktif menulis di aneka macam media masa untuk menuangkan pemikirannya, diantaranya mengenai Tri Pusat Pendidikan yang diusungnya pada Taman Siswa maupun mengenai pendidikan bagi kaum perempuan (pp.395-40). Kegiatan-kegiatan tersebutlah yang mengisi hari-hari Ki Hadjar, sampai ia wafat pada 26 April 1959 (p.415).
Secara mendasar biografi dari Ki Hadjar Dewantara yang dibuat menjadi novel menjadi cukup menarik untuk dibaca. Karena menggunakan bahasa yang lebih sederhana namun tidak menghilangkan esensi dari perjalanan perjuangan Ki Hadjar. Namun, bila buku ini disajikan menyerupai novel, terdapat bagian-bagian yang tidak selesai dikisahkan, menyerupai kehidupan orang tua, kakak dan teman-teman Ki Hadjar. Kemudian, di bab selesai buku, penulis lebih menjabarkan perjuangan untuk meraih kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan secara general sebagaimana yang dituangkan pada buku-buku sejarah nasional. Hal ini menjadi kurang esensi bila pada dasarnya mengkaji mengenai biografi seorang tokoh.
Sumber http://www.eurekapendidikan.com
0 Response to "Resensi Buku: Sang Guru"
Post a Comment